Kamis, 30 Januari 2020

Perang Salib I: Seljuk Tembus Bizantium, Rebut Yerusalem (2)

Panorama Yerusalem masa kini. (Foto: Kickstarter)

Memasuki abad ke 11 M, dinamika politik dunia mengalami pancaroba. Imperium kaum Muslimin yang digjaya itu kini terpecah-pecah dalam satuan dinasti yang lebih kecil, dan saling bersaing satu sama lain. Hal yang sama juga terjadi dengan Eropa.



Yerusalem, kota tiga agama samawi. Dan demikianlah adanya. Religiusitas adalah kesan yang paling mencolok untuk menggambarkan suasana kota ini. Sejarah mencatat, usia kota ini sudah mencapai lebih dari 5000 tahun. Pada tahun 3500 SM, pemukiman pertama terbentuk, menyusul 2500 SM sebuah perkampungaan pertama juga terbentuk. Pada tahun 1.800 SM, atau di akhir zaman perunggu tengah (2.220-1.550 SM), sebuah tembok kota pertama mulai didirikan. Pada tahun 1000 SM, Nabi Daud as menjadikan kota itu sebagai ibu kota negaranya. Dan pada 960 SM, Nabi Sulaiman as mendirikan tempat ibadah yang oleh umat Yahudi dianggap sebagai sebagai rumah suci pertama atau kenizah (Baitullah) di tanah Yerusalem.[1]

Sejarah mencatat, sejak dibangun oleh Nabi Sulaiman, kenizah ini sudah mengalami penghancuran sebanyak dua kali, yaitu oleh raja Babilonia Nabukatnezar pada tahun 856 SM[2] dan pada tahun 70 M, Kaisar Titus dari Romawi menghancurkan Yerusalem berikut kenizah atau Bait Suci Kedua umat Yahudi. Bangsa Romawi menjadikan Yerusalem menjadi kota pagan dengan nama Aelia Capitolina dan menumpas bangsa Yahudi serta mengusir mereka dari Yerusalem. Sejak itu, nuansa religius memudar dari Yerusalem. Umat Yahudi terkatung-katung di pengasingan dan Kristen justru mengalami perkembangan pesat di Eropa.

Hingga datang masa Islam menaklukan Yerusalem di masa Khalifah Umar bin Khaththab. Ketika pertama kali memasuki kota ini, hal yang pertama dicari oleh Umar adalah lokasi tepatnya Masjid Nabi Sulaiman, atau yang dalam kepercayaan Yahudi Bait Suci Kedua yang sebelumnya sudah hancur dan tidak dibangun lagi. Umar bin Khaththab kemudian meminta bantuan kepada Kaab Al-Ahbar, seorang tabi’in yang awalnya adalah seorang Rabi Yahudi. Dia kemudian menunjukkan lokasi kanizah Sulaiman di tempat yang sekarang disebut Al-Haram asy-Syarif.  Konon ketika Umar menemukan tempat ini, kondisinya sangat memprihatinkan dan begitu kotor. Beliau kemudian membesihkan daerah tersebut, dan mendirikan apa yang kita kenal sekarang dengan Masjid Al Aqsa.[3]

Di bawah kendali kaum Muslimin, Yerusalem kembali menemukan jati dirinya, yaitu sebagai kota suci tiga agama samawi. Orang-orang Yahudi berbondong-bondong kembali dari pengasingan; dan umat Kristiani dengan leluasa berziarah ke wilayah ini dalam perlindungan yang aman. Sedang bagi umat Islam sendiri, mereka lebih memprioritaskan dua kota suci, Makkah dan Madinah.

Ketika imperium Islam tumbuh menjadi adidaya dunia, Yerusalem berada di bawah asuhan yang kokoh. Meski secara politik, dinamika politik yang terjadi di dalam tubuh imperium Islam sangat keras, tapi khalifah-khalifah pada periode itu tidak menjadikan Yerusalem sebagai prioritas tertinggi dalam urusan politik dan pemerintahannya. Kota suci tersebut dibiarkan tumbuh apa adanya, tanpa campur tangan politik. Tak ayal, setidaknya dalam 300 tahun pertama imperium Islam berdiri, kota ini dipenuhi dengan toleransi dan kedamaian.

Memasuki abad ke-11 M, dinamika politik dunia mengalami pancaroba. Imperium kaum Muslimin yang digjaya itu kini terpecah-pecah dalam satuan dinasti yang lebih kecil, dan saling bersaing satu sama lain. Dinasti Abbasiyah yang mewarisi wilayah kekuasaan Umayyah pengaruhnya terus meredup, setelah konflik internal dan pemberontak yang terjadi begitu lama.

Faksi-faksi Islam yang lahir dari turbulensi politik tersebut memilih memisahkan diri dan mendirikan imperium masing-masing. Di Asia Tengah ada Seljuk yang terus menggerus pengaruh Abbasiyah. Di Mesir (Afrika) dan sebagian semenanjung Arabia – termasuk Yerusalem, berada dalam kekuasaan Dinasti Fatimiyah. Di Maroko, Dinasti Al-Murābiṭūn (the Almoravid) berdiri. Dan di Andalusia, Dinasti Umayyah II sedang menghadapi perang saudara, sambil dengan sekuat tenaga membendung gerakan Reconquita yang sedang berkembang di Eropa. Dengan kata lain, inilah era dimana peta politik di dunia Islam berubah total.

Setali tiga uang dengan yang terjadi di dunia Islam. Di Eropa, perpecahan terjadi tak kalah sengit. Setelah Kekaisaran Carolingian hancur pada abad ke-9 masehi, kekuatan di Eropa terbagi dalam formasi kekuasaan yang lebih rumit. Wilayah Eropa Tengah yang dulunya pernah disatukan oleh Charlemagne, kini terpecah belah ke dalam banyak unsur. Para raja lokal bertikai, bangsawan dan ksatria saling bertempur dan membuat situasi keamanan di Eropa makin memprihatinkan.[4]

Agama Kristen, yang menjadi satu-satunya unsur pemersatu di antara mereka kini terpecah dalam dua kubu, yaitu Gereja Katolik Roma (Roman Catholic) yang berkuasa di barat, dan Romawi Ortodok (The Eastern Orthodox Faith) yang berkuasa di Timur dengan pusat kekuasaan di Bizantium.[5]

Momentum sejarah terbentuk ketika Seljuk berhasil menembus pertahanan Bizantium dan terus merangsek merebut wilayah-wilayah kekuasaanya. Bersamaan dengan itu, Seljuk juga berhasil merebut Yerusalem dari kekuasaan Fatimiyah. Di tanah suci itu, mereka melakukan pembunuhan dan pengusiran terhadap para peziarah. Intoleransi merebak. Kaisar Bizantium menyadari kegentingan ini. Dia bermaksud mengadu dan meminta pertolongan kepada saudaranya di barat. Rapat darurat pun digelar. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, isu agama merebak demikian luas hingga menyelimuti Eropa.



Catatan kaki:

[1] Terkait sejarah Yerusalem, redaksi ganaislamika.com pernah menerbitkan edisi khusus tentang sejarah kota ini. Untuk membaca bisa mengakses link berikut: https://ganaislamika.com/yerusalem-1/ . Lihat juga artikel terkait: https://ganaislamika.com/memahami-zionisme-awal-mula-konflik-israel-palestina/

[2] Tidak hanya kenizah, tapi juga seluruh Yerusalem dihancurkan oleh Nabukatnezar, dan masyarakat Yahudi diusir dari tanah ini. Mereka baru kembali ke Yerusalem setelah Babilonia jatuh pada tahun 539 SM oleh bangsa Persia. Bangsa Persia dibawah Cyrus Agung menguasai Yerusalem dan mengembalikan bangsa Yahudi ke tempat itu. Mereka kemudian membangun kembali kenizah yang sudah hancur tersebut, yang dikenal sengan Bait Suci Kedua, dan baru selesai di renovasi pada tahun 515 SM. Lihat, Trias Kuncahyono, Jerusalem; Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir, Jakarta, Kompas, 2008.


[4] Lihat, Eamonn Gearon, Turning Points in Middle Eastern History; Course Guidebook, United States of America, The Teaching Company, 2016, Hal. 111

[5] Ibid


Tidak ada komentar:

Posting Komentar