Minggu, 16 Februari 2020

Perang Salib I: Runtuhnya Abbasiyah, Bangkitnya Dinasti Seljuk dan Fatimiyah

Ilustrasi. (Gambar: Istanbul Clues)

Abad ke 11 M, dunia Islam mengalami puncak turbulensi politik. Kekhalifahan Abbasiyah yang sudah berdiri sejak 750 M, kini energinya terkuras oleh perpecahan internal selama ratusan tahun. Dinasti yang mewarisi hampir seluruh wilayah kekuasaan Dinasti Umayyah ini, hanya sanggup mempertahankan masa keemasaannya sekitar 100 tahun. Selebihnya, perang saudara dan perebutan tahta menjadi kisah yang mewarnai sejarah dinasti ini.

Puncaknya, terjadi pada tahun 255 H/869 M. Ketika itu pemberontakan paling besar dan brutal dalam sejarah Dinsati Abbasiyah berlangsung di hampir seluruh wilayah inti Abbasiyah, yaitu Basrah, Al Ahwaz, hingga Baghdad. Pemerontakan ini dilakukan oleh kelompok budak kulit hitam yang dikenal sebagai kelompok Zanj.[1]

Setelah 14 tahun pemberontakan ini berlangsung, kekuatan dan energi yang dimiliki Abbasiyah benar-benar terkuras. Raksasa abad pertengahan ini kehilangan daya memeluk wilayah jutaan hektar yang membentang dari India hingga Afrika. Akibatnya, setelah peristiwa pemberontakan Zanj, banyak wilayah-wilayah di bawah kekuasaan Abbasiyah yang memisahkan diri dan mendirikan dinasti sendiri. Nadirsyah Hosen dalam salah satu artikelnya mengkompikasi sejumlah wilayah yang melepaskan diri dari kekuasaan Dinasti Abbasiyah pada abad pertengahan. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:

Yang berbangsa Persia di antaranya: Dinasti Thahiriyah yang berkuasa di Khurasan (205-259 H/820-872 M); Dinasti Shafariyah yang berkuasa di Fars (254-290 H/868-901 M); Dinasti Samaniyah yang menguasai wilayah Transoxania (261-389 H/873-998 M); Dinasti Sajiyyah di Ajerbaijan (266-318 H/878-930 M); dan Dinasti Buwaihiyah, bahkan menguasai Baghdad (320-447 H/932-1055 M).

Yang Berbangsa Arab di antaranya: Dinasti Idrisiyah di Maroko (172-375 H/788-985 M); Dinasti Aghlabiyah di Tunisia (184-289 H/800-900M); Dinasti Dulafiyah di Kurdistan (210-285 H/825-898 M); dan Dinasti Alawiyah di Tabaristan (250-316 H/864-928 M).

Dan yang Berbangsa Turki di antaranya: Dinasti Thuluniyah di Mesir (254-292 H/837-903 M); Dinasti Ikhsidiyah di Turkistan (320-560 H/932-1163 M); Dinasti Ghaznawiyah di Afghanistan (351-585 H/962-1189 M); dan Dinasti Saljuk (429-700 H/1037-1299 M).

Peta wilayah kekuatan kaum muslimin pada abad ke-9 M, atau sejak turunnya pengaruh kekuasaan Abbasiyah pasca pemberontakan Zanj tahun 255 h/869m. (Sumber gambar: labsky2012b.blogspot.com)

Dalam rentang waktu cukup lama, semua pecahan Dinasti Abbasiyah tersebut umumnya tidak mampu berkembang lebih jauh menjadi sebuah adidaya layaknya Abbasiyah ataupun Umayyah di masa lalu. Tapi memasuki abad ke 11, perubahan besar terjadi.

Di kawasan Asia, Dinasti Saljuk yang tadinya hanyalah sebuah kekuatan kecil di antara dinasti-dinasti lainnya di Asia Tengah, mendadak naik kelas menjadi ningrat di antara semua koleganya. Hanya dalam kurun waktu setengah abad, Dinasti yang didirikan pada tahun 429 H / 1037 M oleh Tughil Beg – cucu Seljuk bin Tuqaq – telah berhasil menguasai hampir seluruh Asia Tengah dan sebagian besar Asia Barat.[2]

Bermula dari satu komunitas kecil yang bertahan hidup di antara persaingan politik Dinasti Ghaznawiyah yang berpusat di Afghanistan,[3] dan Dinasti Samaniyah yang menguasai wilayah Transoxania – Tughil Beg berhasil mendirikan imperium dari puing-piung kehancuran dua dinasti ini. Dari titik ini, mereka kemudian melakukan ekspansi besar-besaran. Mereka merebut Marw dan Naishabur dari cengkraman Dinasti Ghaznah, menguasai Balkh, Jurjan, Thabaristan, Khawarizm, Hamadhan, Rayy, dan menundukkan pemerintah Buwaihi yang menguasai Baghdad.

Tidak berbeda dengan yang terjadi di Asia. Di Afrika, lahir juga Dinasti Fatimiyah yang didirikan pada tahun 910 M oleh kelompok yang mengklaim dirinya sebagai anak keturunan Fatimah Az Zahrah binti Rasulullah SAW. Memasuki abad ke 11 M, Dinasti Fatimiyah memasuki masa keemasannya. Di puncak kejayaannya, imperium Fatimiyah mencakup seluruh Afrika Utara, Sicilia, Mediterania, dan kedua sisi wilayah tepian Laut Merah. Dengan pusat pemerintahannya di Kairo, Mesir.[4]

Eamonn Gaeron menyebut Dinasti Fatimiyah sebagai shadow caliphate (“kekhalifahan bayangan”) dalam dunia Islam. Hal ini mengingat, sejak awal berdirinya pemerintahan Islam, dunia hanya mengenal satu otoritas yang legitimate dan menguasai seluruh hajat hidup kaum Muslimin di dunia. Tapi sejak berdirinya Dinasti Fatimiyah, semua tradisi ini berubah total. Kaum Muslimin memiliki dua acuan otoritas yang sama kuat; dengan dua tradisi fiqih, keilmuan dan kekuasaan yang berbeda: Dinasti Abbasiyah di Irak (termasuk semua pecahannya), dan satu lagi Dinasti Fatimiyyah di Kairo, Mesir. Sejak Dinasti Fatimiyah berdiri, format satu kepemimpinan dalam dunia Islam runtuh.[5]

Maka demikianlah setting sejarah yang terjadi di dunia Islam. Sebagaimana layaknya yang terjadi di Eropa atau dunia Kristen masa itu – dunia Islam pun sedang dalam masa puncak perebutan supremasi mahzab dan otoritas politik. Di Asia sedang bangkit Dinasti Sajuk yang mendefinisikan dirinya sebagai representasi dari Muslim Suni dan pewaris wilayah kekuasaan Abbasiyah; sedang di Afrika, bangkit Dinasti Fatimiyyah yang mengindetifikasi dirinya sebagai representasi Muslim Syiah. Dan pada tahun 1073 M, dua kekuatan besar dalam dunia Islam ini bertemu untuk pertama kalinya demi memperebutkan sebuah tanah suci, yaitu Yerusalem. (Rudi Hendrik)


Catatan kaki:
[2] Seljuk atau bani Seljuk adalah nama suatu suku yang pernah berkuasa pada abad ke-9 dan ke-12. Orang Seljuk adalah orang Turki nomad dari Turkmenistan yang berkerabat dengan orang Uygur. Nama Seljuk diambil dari nama seorang pemimpin kabilah Turki Ghuzz (oghuz) yang mendiami wilayah imperium Uygur bernama Seljuk bin Tuqaq yang diangkat menjadi panglima pada masa Imperium Uighar dan menempati bagian selatan ibu kota Kasgar yaitu lembah Tarim. Seljuk bin Tuqaq berasal dari kabilah kecil keturunan Turki, yaitu kabilah Qunuq. Kabilah ini kemudian bersama 20 kabilah kecil lainnya bersatu membentuk rumpun Ghuz. Pada awalnya gabungan Kabilah ini tidak memiliki nama, hingga munculah nama tokoh Seljuk putra Tuqaq yang mempersatukan mereka dan memberi nama suku tersebut Seljuk.
[4] Tentang sejarah Dinasti Fatimiyah, https://ganaislamika.com/dinasti-fatimiyah-1-asal-usul/
[5] Lihat, Eamonn Gaeron, “Turning Points in Middle Eastern History”, USA, The Teaching Company, 2016, Hal. 84

Tidak ada komentar:

Posting Komentar