Kamis, 16 April 2020

Bani Seljuk: Memajukan Peradaban dengan Pendidikan (3)

Universitas Nizamiyah, universitas tertua di dunia yang dibangun Dinasti Seljuk. (Foto: World Count Down)

Sebelumnya: Dinasti Seljuk: Kedigdayaan Seljuk dan Takluk oleh Pasukan Salib (2)

Dalam catatan sejarah, sebelum Bani Seljuk berkuasa, Asia Kecil berlum pernah ditaklukan. Namun saat Bani Seljuk berkuasa, maka pada tahun 451 H / 1059 M, Asia kecil yang dikuasai oleh Bizantium dapat ditaklukkan.[1] Manakala Basasari menjadi panglima Daulah Fatimiyah, wilayah Baghdad dapat dikuasainya. Oleh karena itu, pada tahun 451 H / 1059 M, Taughril Beg mencoba melepaskan diri dari tangan Fatimiyah. Begitu pula dengan wilayah-wilayah Syam seperti Syiria dan Palestina dapat diambil alih oleh Tughril Beg. Dengan demikian wilayah-wilayah kekuasaan Daulah Abbasiyah menjadi utuh kembali.[2] Selain itu Tughril Beg juga mengembalikan kedudukan Khalifah al-Qaim ke posisi semula.
Sebagai upaya dalam menata pemerintahan untuk membentuk Good Governance atau tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih, serta dengan harapan dapat mengontrolnya, maka secara administratif wilayah kekuasaan Dinasti Seljuk dibagi menjadi 4 bagian yang masing-masingnya dipimpin oleh Gubernur dengan gelar Syaikh atau Malik.[3] Penguasa Bani Seljuk juga mengembalikan jabatan perdana menteri yang sebelumnya pernah dihapus oleh penguasa Bani Buwaih.
Pada masa pemerintahan Alp Arselan, ilmu pengetahuan dan agama mulai berkembang dan mengalami kemajuan hingga pada masa Sultan Malik Syah berkuasa, dengan dibantu oleh perdana menterinya, Nizham al-Mulk. Perdana menteri inilah yang kemudian memprakarsai berdirinya Universitas Nizhamiyah, pembangunannya selesai pada tahun 460 H / 1065 M. Selain itu, ia juga mendirikan Madrasah Hanafiyah di Baghdad. Hampir di setiap kota Irak dan Khurasan kemudian didirikan cabang Nizhamiyah.[4]

Ilustrasi: Bani Seljuk.

Madrasah Nizhamiyah kemudian berhasil mencetak beberapa ulama terkemuka seperti as-Sa’adi yang menyusun kitab Bustan as-Sa’adi, Imaduddin al-Isfahani bin Syadad yang menyusun kitab sejarah Shalahuddin, termasuk juga guru besar madrasah Nidzamiyah bernama Abu Hamid al-Ghazali dan Abu Ishaq asy-Syirazi.[5]
Para pembesar Seljuk merupakan orang-orang yang mencintai kesenian, ilmu pengetahuan, dan sastra. Sehingga mereka memberi penghargaan kepada orang-orang yang berilmu.[6] Maka wajarlah jika pada saat itu terjadi kebangkitan dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi. Perhatian pemerintah terhadap perkembangan ilmu pengetahuan melahirkan banyak ilmuwan muslim pada masanya. Diantara mereka adalah az-Zamakhsyari dalam bidang tafsir, bahasa dan teologi, kemudian al-Qusyairy dalam bidang tafsir, ada juga Abu Hamid al-Ghazali dalam bidang teologi, farid al-Din al-‘Aththar dan Umar hayam dalam bidang sastra.
Madrasah pada masa Dinasti Seljuk digunakan sebagai sarana utama untuk menuntut ilmu. Ibn al-Athir menyebutkan bahwa ketika Bani Seljuk Berkuasa, khususnya pada masa Sultan Malik Syah, dibangunlah dua madrasah yang terkenal, yang pertama terletak dikota Baghdad dan yang kedia beradai di Nisapur. Pada tahun 479 H / 1086 M, Sultan Malik Syah mengunjungi sang Wazir yaitu Nizham Mulk di Baghdad, saat Malik Syah mengunjungi Madrasah Nidhamiyah dan menelaah beberapa buku diperpustakaan, lalu kemudian ia memberikan kuliah Hadits di tempat tersebut. Demikian juga dengan Perdana Menterinya, ia juga sering melakukan hal yang sama di madrasahnya di Khurasan, atau tempat-tempat yang lainnya. Oleh karena itu, Wazir Nizham Mulk dikenal sebagai ulama yang tersohor pada saat itu.[7]
Berbagai macam ilmu pengetahuan yang dikembangkan pada masa itu meliputi beberapa hal antara lain:[8]

Bersambung....



Catatan Kaki:
[1] Lihat Syalabi Ahmad, Sejarah Kebudayaan Islam, Jilid 3, terj. Muhammad Kabib Ahmad, Jakarta, Pustaka Alhusna, 2008, hlm 346.
[2] Ibid, hlm 36.
[3] Lihat, Hj. Muzaiyana, M.Fil. I, Sejarah dan Peradaban Islam – 2, Buku Perkuliahan Program S1 Sejarah dan Kebudayaan Islam, UIN Sunan Ampel Surabaya, hlm 11.
[4] Ibid.
[5] Lihat, Darl al-Ilm, Atlas Sejarah Islam, Jakarta, Kaysa Media, 2011, hlm 97.
[6] Lihat, Hasan Basri Canta, Kebudayaan Islam, hlm 29.
[7] Lihat, Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam, Juz 4, hlm 425.
[8] Ibid. Hlm 519.
[9] Lihat, Rom Kandau, Batu Sendi Peradaban Arab, Terj. H.M. Bachrun, Jakarta, Ichktiar, t.t., hlm 102.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar