Massa Hindu menganiaya seorang Muslim saat kerusuhan di timur laut New Delhi, Selasa, 25 Februari 2020. (Foto: Danish Siddiqui/Reuters) |
Konflik yang terpelihara di India antara Muslim dan Hindu tidak lepas dari adanya dendam masa lalu lintas generasi dan masa.
Aksi-aksi kekerasan terhadap Muslim di India bukan perkara baru. Akarnya jauh membentang ke belakang di abad ke-8 (tahun 712-740) seiring kampanye penaklukan Asia Selatan (Afghanistan, Pakistan, dan India) oleh Kekhalifahan Umayyah. Hingga abad ke-16 tak terkira berapakali konflik terjadi antara kekhalifahan dari Jazirah Arab dengan dinasti-dinasti Hindu di India.
Dalam tulisannya yang dimuat di Violent Internal Conflicts in Asia Pacific, “Hindu-Muslim Conflict in India in a Historical Perspective”, Marc Gaborieau memaparkan penyebab konflik selain karena kampanye penyebaran Islam dari Jazirah Arab ke India di Abad Pertengahan itu, kekerasan sporadis Muslim-Hindu juga tak pernah punah gegara sejumlah kebijakan kolonial Inggris sejak abad ke-19. Salah satu akibatnya, pemisahan India-Pakistan pada 1947. Sementara konflik-konflik di abad ke-20 turut disuburkan oleh Islamofobia yang dipicu sejumlah aksi terorisme mengatasnamakan Islam.
“Karena hegemoni politik kaum Muslim di Asia Selatan didirikan lewat penaklukan, bukan ekspansi damai seperti di Indonesia dan itu berjalan selama enam abad sejak berdirinya Kesultanan Delhi di awal abad ke-13 hingga kemunduran mereka di abad ke-18 yang disertai penaklukan Inggris dari 1765-1818,” ujar Gaborieau.
Pemicu konflik yang paling banyak mencetuskan kerusuhan di era kolonialisme Inggris adalah soal ritual agama. G.R. Thursby dalam Hindu-Muslim Relations in British India menguraikan, di era itu kebanyakan warga Muslim dan Hindu tinggal berdampingan namun jarang harmonis.
Banyak ritual warga Hindu menggunakan tabuhan gendang yang nyaring dan itu dianggap mengganggu ibadah salat umat Muslim. Sebaliknya, ritual kurban Idul Adha di mana banyak sapi disembelih bikin sakit hati umat Hindu yang mensakralkan sapi.
“Setidaknya tercatat ada 31 kerusuhan besar sepanjang 1923-1928 dan kebanyakan terjadi di dekat masjid. Seperti kerusuhan Kalkuta pada April-Mei dan Juli 1926 yang menewaskan 140 orang. Penyebabnya gara-gara seorang penabuh gendang bersikeras memainkan musik dekat masjid di waktu salat untuk prosesi Arya Samaj,” ungkap Thursby.
Ilustrasi: pasukan Khilafah Umayyah untuk menaklukkan Tanah India. (Gambar: YouTube MyNation) |
Kerusuhan Berujung Pembantaian
Pasca-pemisahan India dan Pakistan, lanjut Thursbys, sejumlah kerusuhan yang terjadi justru ditunggangi isu-isu politik. Kaum Muslim dengan kendaraan politik All-India Muslim League masih mempertahankan hegemoni politik masa lalunya. Sementara mayoritas kaum sayap kanan nasionalis-Hindu berusaha mengikisnya.
Kerusuhan Muslim-Hindu skala besar terjadi pertamakali di India merdeka pada 13 Januari 1964 di Kalkuta. Kronologinya bermula dari hilangnya sebuah benda keramat di sebuah masjid di Srinagar, ibukota Jammu dan Kashmir. Kaum Muslim menuduh pelakunya orang-orang Hindu. Sebagai pelampiasan, mereka menyerang pengungsi Hindu yang baru keluar dari Pakistan Timur (kini Bangladesh).
Serangan itu menyebabkan 29 pengungsi Hindu tewas. Kejadian itu memicu pembalasan oleh kaum Hindu di Bengali Barat dan menjalar ke Kalkuta. Di kota itu tercatat setidaknya 100 warga Muslim tewas dan 438 luka-luka. Sementara, 70 ribu warga Muslim lainnya yang menjadi tunawisma sebagai imbas pengeroyokan, penusukan, pemerkosaan, hingga pembakaran oleh massa anti-Islam.
Kerusuhan besar Muslim-Hindu berikutnya terjadi di Gujarat medio September-Oktober 1969. Mengutip laporan Depdagri Negara Bagian Gujarat yang disusun Pingle Jagamohan Reddy dkk. pada 1971, kerusuhan itu menewaskan 24 warga Hindu dan 430 muslim. Kerusuhan yang berupa pembunuhan, pembakaran, dan penjarahan itu dibidani perselisihan antaretnis dan agama terkait urusan perut.
Warga Hindu merasa dirugikan dengan membanjirnya imigran Muslim yang dianggap merebut lapangan pekerjaan mereka di pabrik-pabrik. Kerusuhan pun pecah pada 18 September yang menyebar di kota-kota di Gujarat, seperti Ahmedabad, Vadodara, Mehsana, Nadiad, Anand, dan Gondal. Sempat reda pada 26 September, kerusuhan itu membara lagi sepanjang 18-28 Oktober.
Kerusuhan tak kalah besar terjadi di Desa Nellie, Assam pada 18 Februari 1983, di dikenal sebagai “Pembantaian Nellie”. Pembantaian terhadap pengungsi Muslim dari Bangladesh itu terjadi akibat gerakan dari organisasi pemuda All Assam Students Union dan All-Assam Gana Sangram Parishad yang menentang imigran Muslim Bangladesh.
Kejadiannya bermula dari keputusan Perdana Menteri India Indira Gandhi yang memberi hak suara dalam pemilu kepada enam juta imigran Muslim Bangladesh yang mengungsi di Desa Nellie. Keputusan itu ditentang oleh organisasi pemuda Hindu All Assam Students Union dan All-Assam Gana Sangram Parishad. Kedua organisasi terus menyebarluaskan sentimen anti-imigran Muslim dan direspon orang-orang Suku Tiwa (Lalung).
Mereka pun bersatu menyerang permukiman imigran di Desa Nellie. Pembantaian pada 18 Februari itu terjadi selama enam. Tak pandang bulu, mereka membunuhi perempuan maupun anak-anak imigran Bangladesh. Rumah-rumah dan tanah imigran juga dirusak.
Militer baru berhasil mengkondusifkan situasi empat hari berselang. Akibat Pembantaian Nellie, menurut pemerintah India, 2.191 jiwa melayang. Beberapa sumber tak resmi menyebutkan jumlah korban lebih dari 10 ribu. Pembantaian Nellie jadi genosida terburuk di dunia sejak Perang Dunia II yang dialami jutaan Yahudi oleh Nazi-Jerman.
Kerusuhan tak kalah memilukan terjadi di Bhalgapur pada Oktober-November 1989. Kerusuhan dipicu oleh munculnya sejumlah hoaks terkait isu politik. Akibatnya, warga Muslim bentrok dengan polisi yang dibantu warga Hindu yang melakukan pembakaran, penjarahan, hingga pembunuhan di Distrik Bhalgapur. Sepanjang dua bulan masa mencekam itu, lebih dari seribu jiwa melayang, 900 jiwa di antaranya warga Muslim.
Belum lagi kerusuhan Bhalgapur hilang dari ingatan, kerusuhan kembali pecah di Mumbai 6 Desember 1992-26 Januari. Pemicu kerusuhan adalah peledakan Masjid Babri oleh para aktivis Hindu dari Partai Shiv Sena. Sekira 900 orang tewas akibat kerusuhan itu.
Kerusuhan yang juga bikin pedih kembali terjadi pada Februari-Maret 2002, dikenal sebagai “Pembantaian Gujarat”. Menukil artikel Christophe Jaffrelot bertajuk “Communal Riots in Gujarat: The State at Risk?” yang dimuat dalam Heidelberg Papers in South Asian and Comparative Politics, korban tewasnya lebih dari seribu jiwa, 790 warga Muslim dan 254 Hindu. Narendra Modi yang pada kejadian itu masih menjabat Ketua Menteri di Gujarat, disebutkan Jaffrelot turut mengorkestrasikan pembantaian oleh Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS), organisasi nasionalis Hindu di mana Modi merupakan mantan kadernya.
Sumber: Historia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar