Patung Paus Urbanus II |
“Perang Salib adalah salah satu momen sejarah yang penting. Momen ini dimulai pada 27 November 1095, ketika Paus Urbanus II mendeklarasikan Perang Salib dan memerintahkan untuk merebut Yerusalem dari kekuasaan kaum Muslimin.”
Sejak pertama kali Khalifah Umar bin Khaththab melakukan ekspansi ke Syam, kemudian dilanjutkan ke Persia, dunia terhenyak. Dua imperium terbesar di dunia kala itu, Romawi dan Persia, dibuat tak berdaya. Tidak hanya menaklukkan, orang-orang Islam ini juga membimbing wilayah-wilayah taklukkannya membangun peradaban yang mulia. Layaknya anak-anak, manusia seperti mulai belajar dari awal tentang ilmu, kebijaksanaan dan agama. Islam seketika menjadi buah bibir manusia baik di timur maupun di barat.
Ketika masa Khalifah Usman bin Affan, ekspedisi militer kaum Muslimin terus menyapu wilayah-wilayah seperti Mesir dan sebagian Afrika Utara. Di masa Dinasti Umayyah, mereka berhasil menaklukan wilayah barat, Afrika Utara hingga ke Andalusia. Sedang di wilayah timur, mereka berhasil menjinakkan Asia Tengah sampai ke Khurasan (Iran, Afganistan, Pakistan dan sebagian India sekarang). Setelah masa pemerintahan Dinasti Umayyah, imperium Islam masih dilanjutkan oleh Dinasti Abbasiyah, yang mengambil alih seluruh wilayah taklukkan Umayyah.
Selama lebih dari 300 tahun, dominasi kaum Muslimin nyaris tak tergoyahkan di muka bumi. Hingga pada tahun 1099, tentara Salib dari Eropa berhasil merebut Yerusalem, salah satu kota suci umat Islam. Seketika mitos kedigjayaan Islam itupun meredup. Kepercayaan diri bangsa Eropa bangkit. Keberhasilan ini serta merta mengglorifikasi seluruh Eropa dan memacu semangat mereka untuk membebaskan tanah Eropa dari pengaruh kaum Muslimin, atau yang terkenal dengan nama Reconquista.
Catatan singkat ini, hanya bermaksud untuk mengisahkan momen krusial dalam sejarah ini. Momen ini dikenal bangsa Eropa sebagai Perang Salib I. Setelah pecahnya perang ini, interaksi antara kaum Muslim dengan Kristen meningkat sangat intens, baik dalam bentuk perang, intrik, perjanjian damai, hingga kerja sama. Dalam proses interaksi inilah, terjadi transfer pengetahuan, teknologi, dan pertukaran nilai – yang pada tahap selanjutnya – berhasil mendorong bangsa Eropa mencapai abad keemasannya.
Al Quds/Yerusalem
Al Quds (Kota Suci), atau masyarakat internasional lebih mengenalnya dengan sebutan Yerusalem, adalah kota suci tiga agama samawi, yakni Islam, Kristen, dan Yahudi. Populasi ketiga agama ini sekarang, mungkin lebih dari 50% jumlah total penduduk dunia. Setiap agama mengalami momen monumental di kota ini, yang hal itu berhubungan secara prinsipil dengan aspek spiritualitas masing-masing agama tersebut. Mungkin tidak ada kota di dunia yang dibicarakan, diteliti, dan ditulis sedemikian banyak sepanjang sejarah, seperti Yerusalem.
Nama Yerusalem sendiri dalam bahasa Ibrani berarti “kota yang damai”. Namun menurut Eric H. Cline’s, “kota yang damai ini ternyata pernah mengalami penghancuran sebanyak dua kali, dikepung 23 kali, diserang sebanyak 52 kali, serta direbut dan diperebutkan kembali sebanyak 44 kali.”[1]
Bila bagi ummat Yahudi, Yerusalem mengandung khazanah religius yang fundamental bagi agama mereka. Demikian juga bagi umat Kristiani, tempat ini tak kalah pentingnya. Di tempat inilah drama penyaliban Yesus Kristus berlangsung. Via Dolorosa atau Jalan Penderitaan adalah saksi ketika Yesus Kristus berjalan sambil membawa salib hingga ke bukit Golgota.[2]
Umat Kristiani percaya, di atas bukit inilah kemudian Yesus disalibkan hingga wafat dan kemudian dibangkitkan. Sekarang, di bukit ini didirikan Gereja Makam Kudus (bahasa latin: Sanctum Sepulchrum, bahasa Inggris: Church of the Holy Sepulchre) yang letaknya masih berada di dalam Kota Lama Yerusalem. Gereja ini menjadi tujuan peziarahan Kristen sejak abad ke-4 dan menjadi salah satu monumen religius yang paling penting dalam agama Kristen.[3]
Sejak ditaklukkan oleh pasukan kaum Muslimin yang dipimpin oleh Umar bin Khattab pad 635 M, kota Yerusalem praktis dikuasai oleh kekhalifahan Islam. Setidaknya selama 4 abad pertama pemerintahan kaum Muslimin, Yerusalem menjadi kota yang paling toleran di dunia. Semua umat beragama di kota ini hidup dalam kedamaian, dan dapat menjalankan tradisi keagamaannya tanpa takut diganggu. Keteladanan tentang sikap toleransi ini sudah dimulai oleh Umar bin Khattab sendiri ketika pertama kali tiba di kota ini.
Dikisahkan sesampainya di kota, Umar disambut Uskup Patriarch. Umar kemudian diajak berkeliling ke beberapa tempat suci di kota Yerusalem. Lalu ketika waktu zuhur tiba, Uskup membukakan Gereja Makam Suci dan mempersilahkan Umar melakukan salat dulu di gereja itu. Namun, hal tersebut ditolak Umar. Dia menjawab, “Jika saya melaksanakan salat di gereja ini, saya khawatir para pengikut saya yang tidak mengerti dan orang-orang yang datang ke sini di masa yang akan datang akan mengambil alih bangunan ini kemudian mengubahnya menjadi masjid, hanya karena saya pernah salat di dalamnya. Mereka akan menghancurkan tempat ibadah kalian. Untuk menghindari kesulitan ini dan supaya gereja kalian tetap sebagaimana adanya, maka saya salat di luar”.[4]
Sikap dan keteladanan Umar ini kemudian dicontoh dan dijadikan tradisi oleh khalifah setelahnya yang menguasai Yerusalem, mulai dari Dinasti Umayyah, Abbasiyah dan Fatimiyah.
Situasi kemudian berubah ketika pada tahun 1010 Khalifah Fatimiyah bernama Al Hakim, mulai memerintahkan penghancuran gereja dan sinagog di Yerusalem. Intoleransi pun mulai merebak.
Situasi semakin parah ketika pada tahun 1073 M, Dinasti Saljuk berhasil merebut Yerusalem dari Dinasti Fatimiyah. Umat Kristen dan Yahudi yang melakukan ziarah ke Yerusalem diserang, dirampok, dan dibunuh. Bahkan situs-situs keagamaan umat Kristen dan Yahudi ini dihancurkan ketika kekhalifahan Saljuk menguasai wilayah Yerusalem. Situasi ini telah menimbulkan tragedi di kota tersebut. Gelombang pengungsian kaum Nasrani dan Yahudi pun mulai marak ke Eropa. Di Eropa, mereka menceritakan apa yang terjadi di Yerusalem, dan akhirnya memprovokasi Tahta Suci.
Pada 27 November 1095, Paus Urbanus II mendeklarasikan Perang Salib dan memerintahkan untuk merebut Yerusalem dari kekuasaan kaum Muslimin.[5]
Catatan kaki:
[1] Lihat, https://web.archive.org/web/20080603214950/http://www.momentmag.com/Exclusive/2008/2008-03/200803-Jerusalem.html
[2] Via Dolorosa tidaklah lebar, hanya dua atau tiga meter saja. Sekarang, di kiri kanan jalan itu berderet took-toko cinderamata dan rumah-rumah penduduk Yerusalem. Jalan ini bermula dari depan pintu gerbang St Stephanus atau Pintu Gerbang Singa dekat Benteng Antonia. Dari sinilah jalan itu memanjang menembus perkampungan Muslim kemudian masuk ke wilayah Kristen dan berakhir di Gereja Makam Kristus, atau dahulu dikenal sebagai Bukit Golgota. Lihat, Trias Kuncahyono, Yerusalem; Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir, Jakarta, Kompas, 2008. Hal. 20-21
[3] Ibid
[4] Lihat, http://www.muslimdaily.net/artikel/special-feature/sejarah-indah-pembebasan-palestina-oleh-khalifah-umar.html
[5] Lihat, Eamonn Gearon, Turning Points in Middle Eastern History; Course Guidebook, United States of America, The Teaching Company, 2016, Hal. 113
Tidak ada komentar:
Posting Komentar