Minggu, 26 Januari 2020

Pidato Bersejarah Paus Urbanus II, Deklarator Perang Salib

Paus Urbanus II. (Foto: es.wikipedia.org)

Oleh: Rusydan Abdul Hadi

Sembilan ratus dua puluh satu tahun silam, kisah itu dimulai. Sebuah kisah tentang seorang pria yang hari ini nyaris terlupakan, bahkan oleh mereka-mereka mengimani trinitas sekalipun. Padahal pria ini telah memberikan pengaruh yang begitu kuat dan langsung dalam sejarah peradaban manusia.

Odo de Lagery adalah nama asli pria itu, dia dilahirkan dalam sebuah keluarga bangsawan Prancis dan karenanya memperoleh pendidikan yang baik. Ketika usianya menginjak 46 tahun, dia terpilih menjadi paus dan sejak saat itu dia menyandang gelar Paus Urbanus II.

Sembilan ratus dua puluh satu tahun silam. Paus Urbanus II yang dikenal sebagai pribadi yang kuat dan efektif serta politikus yang peka membaca situasi, memutuskan untuk memprakarsai sebuah sidang akbar di kota Clermont, Prancis. Di sana, di hadapan ribuan massa dia menyampaikan sebuah pidato yang barangkali bisa diklaim sebagai yang paling efektif dalam sejarah. Karena berawal dari pidato tersebutlah masyarakat Eropa menjadi tahu ke mana mereka harus melangkah. Berawal dari pidato tersebutlah masyarakat Eropa mampu menggenggam dunia dan tak pernah melepasnya kembali.

"Wahai rakyat Frank !!! Rakyat tuhan yang tercinta dan terpilih!!!"

Odo menyapa lautan manusia yang terhampar di hadapannya.

“Telah datang datang kabar memilukan dari Palestina dan Konstantinopel, bahwa suatu bangsa terlaknat yang jauh dari tuhan telah merampas negara tersebut, negara umat Kristen. Mereka hancurkan negara itu dengan perampokan dan pembakaran.”

Sebagai pimpinan keagamaan tertinggi umat Kristen, kemarahan Odo mungkin telah mencapai puncaknya. Dia geram terhadap tingkah polah bangsa Saljuk, dari sudut pandangnya bangsa Saljuk sangat pantas mendapat laknat dari tuhan, karena ia mengklaim bahwa mereka telah menduduki tanah suci umat kristen, mengotori tempat-tempat keramat, dan mengganggu para peziarah kristen.

Namun seperti kata orang bijak, kemarahan seringkali membutakan hati. Odo pun demikian, kemarahan bisa jadi telah membutakannya dari kebaikan-kebaikan penguasa muslim di masa itu. Memang jauh sebelum Odo lahir, ada seorang penguasa muslim bernama al Hakim bin Amrillah yang dengan sewenang-wenang menghancurkan gereja Holy Sepulchre. Namun perlu diingat juga bahwa al Zahir, penerus al Hakim dengan penuh kerendahan hati membangunnya kembali.

Sebagian atau oknum bangsa Saljuk memang mengganggu para peziarah Kristen. Namun sebagai sebuah kesultanan, para penguasa Saljuk telah memperlakukan umat kristiani baik yang tinggal di Palestina maupun para peziarah dengan perlakuan yang sangat baik. William Durant dalam Qissat al Hadarah menceritakan bahwa perlakuan buruk penguasa muslim di masa itu hanyalah pengecualian.

Namun Odo tetap berkeras hati, dia memilih untuk melambungkan rasa bangga yang masih tersisa dalam dirinya. Dia menularkan kebanggaan tersebut kepada ribuan orang di hadapannya. Kebanggaan akan status umat kristiani sebagai umat yang dicintai dan dipilih oleh tuhan.

Dan rasa bangga itu pula yang membawa Odo untuk mengecap bangsa Saljuk sebagai bangsa terlaknat yang jauh dari tuhan. Maka dalam pidatonya di hari itu, Odo telah menyampaikan semacam pesan kebencian –dalam bahasa Barat adalah hate speech- kepada khalayak agar menjadikan bangsa Saljuk sebagai musuh bersama dan Odo berhasil.

Odo pun melakukan framing serta penggiringan opini dalam lanjutan pidatonya. 

"Bangsa Saljuk telah membawa para tawanan ke negeri mereka dan sebagian lain mereka bunuh dengan disiksa secara sadis. Mereka hancurkan gereja-gereja setelah sebelumnya mereka kotori dan mereka nodai. Mereka taklukkan kerajaan Yunani dan mereka rampas wilayahnya yang sebegitu luasnya hingga seorang musafir tidak akan selesai mengelilingi wilayah itu dalam waktu dua bulan penuh."

Odo mencoba memunculkan perasaan dalam diri orang-orang Prancis bahwa bangsa Eropa kini sedang dalam kondisi teraniaya. Akhirnya benih-benih kebencian terhadap bangsa Saljuk yang mulai bersemi kini menjadi semakin tumbuh membesar. Selanjutnya Odo pun mulai melancarkan propagandanya bahwa bangsa Saljuk yang "terlaknat" itu haruslah dilawan, diperangi dan tak perlu diberi ampunan.

“Di atas pundak siapakah tanggung jawab pembalasan atas kezaliman-kezaliman ini, dan siapa juga yang harus bertanggung jawab merebut kembali tanah-tanah ini, jika bukan kalian?! Kalian, wahai kaum yang mendapat keistimewaan dari tuhan lebih dari kaum lain berupa kemenangan di dalam peperangan, keberanian besar dan kemampuan mengalahkan orang-orang yang menghadang kalian. Jadikanlah perjalanan pendahulu kalian sebagai peneguh hati kalian, sebagaimana kemenangan Charlemagne dan kemenangan raja-raja kalian yang lainnya. Bulatkan tekadmu untuk menuju makam suci Almasih, tuhan kita dan juru selamat kita. Di mana makam tersebut kini sedang dikuasai oleh sebuah bangsa yang najis.”

Untuk lebih meyakinkan khalayak tentang pentingnya perlawanan terhadap bangsa Saljuk, pada akhirnya Paus Urbanus II ini pun menggunakan alat legitimasi paling hebat dan paling efektif dalam sejarah manusia, yaitu tuhan.

“Sesungguhnya tuhanlah yang memerintah kalian, bukan saya! Wahai para tentara Almasih, apapun derajat sosial kalian, entah ksatria ataupun serdadu, kaya ataupun miskin. Bergegaslah untuk memusnahkan bangsa saljuk yang hina ini dari tanah kita!  Dan berikanlah pertolongan kepada penduduk Kristen sebelum semuanya terlambat!!!”

Namun Odo menyadari bahwa tidak semua orang bisa tergerak hatinya dengan “perlibatan tuhan”, pasti ada dalam masyarakat sekelompok orang yang butuh iming-iming duniawi agar mau bergerak. Maka Odo pun menutup pidatonya dengan menceritakan kesenangan-kesenangan yang akan diraih apabila tanah suci Jerussalem berhasil direbut kembali.

"Sesungguhnya Yerusalem adalah tanah yang tiada berbanding buah-buahannya. Ia adalah surga kemewahan. Sesungguhnya kota terbesar yang terletak di jantung dunia telah menjerit meminta tolong kepada kalian untuk diselamatkan. Lakukanlah perjalanan ini dengan gembira dan penuh semangat, maka kalian akan terbebas dari dosa-dosa kalian. Yakinlah bahwa kalian akan mendapatkan kemuliaan yang tiada fana di kerajaan langit."

Tentu saja pidato Odo mendapat applaus meriah dari massa yang hadir. Sebuah pidato yang bukan sekedar menggugah sentimen agama, tetapi juga menggugah hasrat-hasrat manusiawi yang lazim. Sebuah pidato yang mampu memberi gambaran kebahagiaan bukan spiritual semata melainkan material juga.

Setelah Odo mengakhiri pidatonya massa pun berteriak, "Deus le Volt!!! Tuhan menghendakinya!!!"
Sebuah narasi yang kini digunakan Donald Trump dalam kampanye politiknya.

Selang beberapa bulan setelah itu, Perang Salib pertama pun meledak. Ledakan pertama ini nantinya akan diikuti dengan rentetan panjang perang suci yang memakan waktu selama dua abad. Odo sendiri menghembuskan nafas terakhirnya empat tahun kemudian. Dua pekan sebelum bangsa Kristen Eropa berhasil merebut wilayah Darussalam dari genggaman umat Islam.


Catatan: Dalam penulisan cerita di atas, penulis merujuk pada pada dua buku sebagai referensi, yang pertama adalah buku "The 100" karya Michael H. Hart dan "Qissat Al Hadharah" karya William Durant.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar